Truth Daily Enlightenment show

Truth Daily Enlightenment

Summary: Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

Join Now to Subscribe to this Podcast

Podcasts:

 Rela Kehilangan Hak Milik | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dari kisah kelahiran Tuhan Yesus, menunjukkan kepapaan atau kehinaan-Nya yang sangat ekstrem. Ia tidak dilahirkan dalam istana atau rumah yang layak, tetapi Ia lahir di tempat sederhana, sangat besar kemungkinan di kandang hewan (Luk. 2:7). Keberadaan-Nya seperti ini menunjukkan bahwa Ia rela kehilangan hak untuk memiliki kelimpahan kekayaan, walaupun Ia adalah pemilik dari segala sesuatu, sebab Ia adalah Pencipta dari segala sesuatu itu (Yoh. 1:1-13). Hidup kesederhanaan-Nya terpancar dari sejak kelahiran-Nya sampai kepada kematian-Nya di kayu salib. Ia tergantung di kayu salib dengan tubuh setengah telanjang, sebab prajurit Romawi merenggut jubah-Nya dan membagi di antara mereka melalui undi (Mat. 27:35). Dalam suatu pernyataan-Nya Yesus mengemukakan: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Luk. 9:58).  Sebuah pernyataan yang menunjukkan kemiskinan-Nya yang sangat ekstrem. Dari hal ini nampaklah bahwa Yesus rela kehilangan hak untuk menikmati kekayaan materi yang sebenarnya adalah milik-Nya sendiri.  Paulus dalam tulisannya mengatakan: Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya (2Kor. 8:9).  Kemiskinan dalam teks ini adalah eptocheusen (ἐπτώχευσεν) berarti become poor, kata ini berasal dari kata ptocheuo yang memiliki pengertian to be a beggar, to become indigent. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan secara materi atau kemiskinan-Nya secara materi. Betapa berbahayanya ketika seseorang terjebak atau disesatkan oleh rasa aman yang salah. Rasa aman semu ini membuat seseorang tanpa sadar membelakangi Tuhan. Rasa aman yang salah ini diajarkan oleh dunia kepada kita sejak kecil. Rasa aman oleh karena difasilitasi oleh kekuatan di sekitar kita. Fasilitas tersebut bisa berupa uang, harta, keluarga atau relasi petinggi negara, pangkat, nama baik dan kekuatan lain. Rasa aman ini juga menyangkut keyakinannya bahwa ia akan bahagia dan menikmati hidup dengan keberuntungan dan kesenangan kalau difasilitasi oleh kekuatan-kekuatan tersebut. Rasa aman yang salah ini telah menjadi gaya hidup atau pola hidup manusia pada umumnya. Iblis membujuk manusia untuk memiliki gaya hidup yang salah tersebut (yaitu rasa aman yang bertumpu kepada kekuatan di luar Tuhan). Ketika Iblis berkata: Sembahlah aku maka akan kuberikan dunia ini kepada-Mu (Luk. 4:5-7), bujukan tersebut adalah dorongan untuk memiliki gaya hidup, di mana seseorang merasa aman dengan kekuatan di luar Tuhan. Hal ini membuat seseorang melakukan percintaan dengan dunia dan tidak bergantung kepada Tuhan. Hal ini pula membuat orang Kristen menjauhi Tuhan dan melakukan pelacuran rohani. Hal ini sama dengan menyembah Iblis. Mereka tidak merasa tidak menyembah Iblis, padahal kenyataannya mereka menyembah Iblis dan hal ini sudah cukup membuat seseorang binasa. Inilah dosa materialisme yang merajalela hebat dalam dunia post-modern hari ini. Percintaan dunia mengakibatkan seseorang menjadikan dirinya musuh Tuhan (Yak. 4:4), kasih akan Bapa tidak ada pada orang tersebut (1Yoh. 2:15-17) tentu mereka tidak mengerti apa artinya pelayanan dan mengasihi sesama, sebab hati mereka sudah dibelenggu dengan percintaan dunia.   Di era post-modern, masyarakat merasa nyaman bila memiliki deposito. Sebagai pelayan Tuhan, kita tidak boleh mengenakan standar hidup seperti anak-anak dunia. Paulus menasihati orang percaya bahwa asal ada makanan dan pakaian cukup. Ini artinya bahwa seorang anak Allah tidak boleh menuntut dan mengharapkan memiliki standar hidup seperti anak-anak dunia. Bila seorang pelayan Tuhan sudah merasa berhak memiliki hak milik, maka ia tidak akan dapat menjadi pelayan seperti Yesus; yang dicurahkan seperti anggur dan dipecahkan seperti roti. Dalam pelayanan memang dibutuhkan berbagai fasilitas,

 Rela Kehilangan Hak Untuk Menerima Upah | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Pelayanan seorang pelayan Tuhan bukan merupakan sarana untuk mendapatkan penghasilan semata. Ketika Tuhan memanggil seseorang untuk melayani Dia, hal itu tidak dimulai dengan suatu janji agar dalam pekerjaan pelayanan tersebut seseorang dapat memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya. Memang Alkitab mengemukakan adanya janji Tuhan untuk mencukupi hidup seorang yang melayani Tuhan. Hidup dalam kecukupan memang merupakan berkat Tuhan yang menyertai pelayanan seseorang di ladang Tuhan, tetapi janji itu bukan merupakan tujuan, sehingga dapat dijadikan motivasi dalam bekerja di ladang Tuhan.  Pengalaman Elia di tepi sungai Kerit membuktikan pemeliharaan Tuhan atas hamba-hamba-Nya. Di tengah masa kekeringan Elia diberi makan oleh burung-burung gagak (1Raj. 17:5-6). Tatkala pasukan raja Ahab mengejarnya, ia melarikan diri ke padang gurun Barsyeba dan Tuhan memeliharanya. Ketika lapar, ia diberi makan oleh malaikat (1Raj. 19:1-8). Mengenai janji Allah kepada para Imam dalam pemenuhan kebutuhan mereka dicatat dalam kitab Imamat 10:12-20, Maleakhi 3:10. Semua ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak akan melupakan orang yang bekerja bagi Tuhan. Realitas ini dapat membangun motivasi yang benar dalam diri seorang pelayan Tuhan yang melayani pekerjaan-Nya, melayani harus dengan motivasi hati yang bersih. Semua kisah yang dicatat dalam Alkitab tidak selalu menyampaikan pesan providensia (pemeliharaan) Tuhan terhadap hamba-hamba-Nya dalam kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan. Dalam peristiwa salib tidak ditemukan berkat makan dan minum yang disediakan bagi Yesus. Paulus dalam pelayanannya pernah menyatakan bahwa ia tidak menerima persembahan jemaat yang sebenarnya merupakan haknya. Paulus dalam pernyataannya menampilkan sesuatu yang terkesan kontradiksi. Satu sisi ia berkata bahwa seorang pelayan Injil dapat hidup oleh Injil (1Kor. 9:14), tetapi di lain pihak ia menyatakan bahwa ia boleh memberitakan Injil tanpa upah (1Kor. 9:18). Ini merupakan sikap yang ditampilkan Paulus ketika ia mencoba melepaskan hak. Ia seorang pelayan Tuhan yang benar-benar tidak mencari keuntungan pribadi.  Bill Hybels mengatakan bahwa pemimpin seperti ini, disebutkan sebagai pemimpin yang berani. Paulus walaupun sadar dan tahu benar bahwa seorang pelayan Tuhan yang melayani telah diberikan hak untuk menerima persembahan yang menjadi bagiannya, namun ia menolak untuk menerimanya (1Kor. 19:14-18). Paulus ingin menunjukkan sikapnya yang dewasa, yang sangat baik untuk diterapkan dalam hidup pelayanan hamba Tuhan, yaitu mereka yang rela melepaskan haknya.  Pelayan Tuhan seperti Paulus ini sangat rela kalaupun harus tidak menerima dukungan dari gereja atau jemaat yang ia layani. Dalam situasi sekarang ini dapat ditemukan banyak sekali anggapan yang memutlakkan hak menerima persembahan, baik persembahan kolekte maupun persepuluhan, di kalangan pelayan Tuhan. Hak untuk menerima persembahan tersebut lambat laun semakin mengkristal, sehingga tanpa disadari hampir semua hamba atau pelayan Tuhan merasa berhak mengambil bagian tersebut.  Untuk membiayai pelayanannya, Paulus bekerja keras. Ia membuat kemah. Ini sebuah pekerjaan tangan yang berat, yang menuntut tenaga dan waktu. Ia melakukan itu demi supaya bisa membiayai perjalanan pelayanannya dan perjalanan pelayan rekan-rekannya. Pola inilah yang harus dicontoh oleh para pelayan Tuhan. Dalam sikap yang ditampilkan Yesus dalam Filipi 2:8 dan juga Paulus dalam 1 Korintus 19:14-18, merupakan dasar berpijak untuk membangun sebuah acuan. Melepaskan hak adalah sikap dewasa rohani seorang pelayan Tuhan yang membawa keserupaan dengan Yesus. Dewasa ini dapat dijumpai pelayan Tuhan yang taraf hidup ekonominya tergolong baik. Hal ini dapat menjadi pertimbangan orang-orang tertentu bahwa profesi sebagai pelayan rohani menjanjikan atau menjamin kehidupan ekonomi yang baik. Hal ini akan membangun motivasi yang salah dalam pelayanan, mereka melayani pekerjaan Tuhan untuk memperoleh upah atas jasa pelayanan ya...

 Rela Kehilangan Hak Untuk Diterima | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dalam Alkitab kita dapat menemukan kenyataan adanya penolakan yang dialami Yesus dari banyak pihak terjadi sejak kedatangan-Nya ke dalam dunia (Yoh. 1:11). Sejak dalam kandungan Ia tertolak. Pertama kali penolakan itu datang dari Yusuf, tunangan Maria. Walau pada akhirnya Yusuf menerima Maria setelah diberitahukan oleh Malaikat perihal kehamilan Maria, tetapi Yusuf sempat menolak kehadiran Yesus dalam rahim Maria (Mat. 1:19-20).  Penolakan berikut terjadi oleh penduduk Bethlehem yang tidak menerima Maria dalam rumah mereka. Penolakan yang paling berbahaya adalah perlawanan Herodes yang sangat bengis, karena merasa terancam dengan kedatangan-Nya. Herodes terancam karena dengan kedatangan sosok yang diakui sebagai Raja, kedudukannya ada dalam posisi berbahaya. Karena orang-orang tahu masa kecil Yesus, bahwa Ia adalah anak pasangan Yusuf dan Maria dari Nazaret, maka Ia tidak dihargai sama sekali, mereka menolak kehadiran Yesus sama sekali di kota tersebut. Sebagai sosok yang menampilkan kehidupan yang berbeda dengan guru-guru agama dan ahli-ahli Taurat, Yesus sering tertolak oleh lingkungan-Nya (Luk. 17:25).  Untuk menyukakan Bapa-Nya Yesus menyerahkan seluruh hak hidup-Nya.  Dalam salah satu tulisannya Paulus mengatakan: “… yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:6-7). Sikap Yesus yang dapat dilihat dalam peristiwa salib, terkandung banyak hal kerelaan kehilangan hak untuk diterima. Yesus yang adalah Allah itu sendiri di dalam keserupaan-Nya dengan manusia, berani untuk tidak membela diri ketika seorang berkata kepada-Nya “Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu!” (Mrk. 15:29-30). Kerelaan seperti ini adalah bentuk wujud yang dicontohkan Yesus untuk memberikan teladan kepada semua murid-murid-Nya. Dalam kisah yang bertalian dengan kelahiran Yesus, Maria ibu Yesus menunjukkan kerelaannya untuk tidak diterima oleh lingkungannya. Penyerahan sebagai budak yang hidup untuk kepentingan majikannya juga ditunjukkan oleh Maria ketika ia berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah pelayan Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu (Luk. 1:18). Dapat diperhitungkan, kalau Maria hamil tanpa suami, menimbulkan penolakan yang hebat dari masyarakat Yahudi yang sangat moralis pada zamannya. Dalam hal tersebut Maria rela kalaupun harus diasingkan dari masyarakatnya, dirajam batu atau segala resiko yang lain yang harus diterimanya. Hal ini menunjukkan sikap yang sangat luar biasa dari wanita muda ini. Bisa dimengerti mengapa Allah memilih dirinya menjadi ibunda dari Mesias. Kerelaan untuk tidak diterima tersebut, merupakan ciri dari kehidupan seorang pelayan Tuhan yang rela berjiwa hamba seperti Yesus Kristus. Jabatan pelayan Tuhan dalam gereja bukanlah jabatan yang menuntut untuk dihargai dalam bentuk perlakuan khusus. Untuk ini seorang pelayan Tuhan tidak harus atau tidak perlu memiliki atribut-atribut tertentu yang memberikan pancaran agar diterima sebagai orang istimewa dengan kewibawaan seorang rohaniwan. Dalam hal ini seorang pelayan Tuhan tidak menuntut mendapat tempat di hati jemaat yang dilayani. Bahkan sekalipun kehadirannya di suatu tempat tidak diterima, maka ia harus menerima realitas tersebut sebagai hal yang wajar. Tentu saja seorang pelayan Tuhan menghindari tindakan salah yang tidak terpuji, yang membuat dirinya tertolak oleh masyarakatnya. Di kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan lain-lain, di mana filosofi materialisme begitu kuat dan ditambah teologi kemakmuran yang diakui sebagai kebenaran oleh sebagian orang Kristen, keadaan ekonomi yang lemah seorang pelayan Tuhan dapat dicurigai atau dianggap sebagai “tidak diberkati” Tuhan. Hal ini akan menciptakan perasaan inferiority complex atau rendah diri.

 Rela Kehilangan Hak Untuk Dihormati | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Tuhan Yesus adalah Allah Anak yang memilki segala kemuliaan, kekuasaan dan kehormatan sebagai Tuhan. Kesediaan meninggalkan takhta kemuliaan-Nya adalah kerelaan kehilangan hak-hak-Nya. Dalam sejarah kehidupan Tuhan Yesus selama dalam dunia ini dengan memakai tubuh daging (sarkos), Ia menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan penderitaan, baik secara fisik maupun psikis, yang semua itu merupakan ekspresi dari  kerelaan kehilangan hak-hak-Nya. Dalam perjalanan hidup-Nya selama tiga setengah tahun, Ia juga telah kehilangan kehormatan-Nya di mata sebagian besar orang-orang Yahudi. Dalam suatu kesempatan Ia dituduh sebagai orang gila (Mrk. 3:21), juga dituduh menggunakan kuasa Beelzebul dalam mengusir setan (Luk. 11:15). Dengan tuduhan tersebut, maka Yesus telah didakwa sebagai kerasukan setan. Kehormatan-Nya di mata manusia menjadi hancur sama sekali ketika Ia harus menghadapi pengadilan Pilatus, imam besar dan Herodes (Mat. 26:48-75). Penduduk Yerusalem meneriakkan seruan yang sangat menyakitkan, agar Yesus disalibkan. Akhirnya Ia disalib dengan tuduhan sebagai penghujat Allah dan penyesat rakyat agar melawan Kaisar. Ia disalib dengan penilaian publik sebagai penjahat besar dan dipandang sebagai terkutuk (Gal. 3:13). Dalam hal ini jelas  bahwa Ia merelakan kemuliaan-Nya hilang untuk sementara waktu. Yesus benar-benar rela kehilangan reputasi, harga diri dan prestis. Dalam suatu percakapan Yesus berkata: “Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.” Dari pernyataan Yesus ini jelas sekali menunjukkan bahwa Ia rela kehilangan hak kehormatan yang dimiliki-Nya sebagai Tuhan yang datang dari tempat Yang Mahatinggi. Keunggulan-Nya sebagai Allah Yang Mahatinggi tidak menahan-Nya untuk merendahkan diri. Ekspresi kerelaan kehilangan hak dihormati manusia juga ditunjukkan dengan tindakan-Nya mencuci kaki murid-murid-Nya dalam suatu perjamuan terakhir sebelum Yesus menghadapi penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya (Yoh. 13).  Narasi pembasuhan kaki sungguh mengejutkan. Narasi ini berlatar belakang pra paskah.  Robert Kysar menyatakan bahwa peristiwa pembebasan yang Allah kerjakan bagi umat-Nya dalam beberapa hal merupakan sebuah pratanda bagi makna tindakan Allah dalam Kristus. Sikap Tuhan Yesus yang merendahkan diri sedemikian rupa itu, dinyatakan oleh Donald S. Whitney sebagai Hamba Yang Sempurna. Hamba Yang Sempurna ditunjukkan dengan kesediaan-Nya melakukan segala sesuatu guna memenuhi tugas yang dipercayakan kepada-Nya. Hal ini dinyatakan oleh Paulus dalam pernyataannya: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:8). Salib adalah realitas praksis dan praktis dari kerelaan Yesus kehilangan hak untuk dihormati. Di sinilah dapat ditemukan puncak pengabdian Yesus. Jadi puncak pengabdian Yesus, adalah tatkala Ia rela kehilangan segala kehormatan-Nya yang dipresentasikan dengan kayu salib. Paulus sebagai model seorang pelayan Tuhan yang telah menunjukkan kepiawaiannya sebagai pemimpin yang melayani, mengemukakan kesaksian hidupnya bahwa ia rela menjadi hamba bagi semua orang karena Kristus (1Kor. 9:19). Menjadi hamba berarti rela direndahkan, kehilangan kehormatan. Sikap hati seperti Yesus yang telah dijelaskan di atas adalah sikap hati yang harus diteladani oleh setiap pengikut-Nya yang melayani Dia. Para pelayan Tuhan harus rela kehilangan kehormatan di mata manusia demi tugas yang harus diemban. Tidak ada sesuatu yang boleh dapat menjadi nilai lebih dalam kehidupan seorang pelayan, yang oleh karenanya ia merasa memiliki hak untuk menjadi terhormat. Jabatan sebagai pelayan gereja atau pelayan jemaat bukanlah jabatan yang lebih tinggi dari jabatan yang lain, sebab nilai atau kualitas jabatan bukan terletak kepada jenis jabatan tersebut semata-mata, tetapi motivasi terdalam seseorang melakukan suatu pekerjaan. Jadi,

 Melepaskan Hak | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Flp. 2:5-8). Berita penting yang terdapat dalam ayat ini adalah “melepaskan hak” untuk Tuhan. Ini adalah rahasia bagaimana seseorang dipakai oleh Tuhan sebagai pelayan-Nya. Demi pekerjaan Bapa, Tuhan Yesus melepaskan segala hak-Nya. Perhatikan kalimat “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri”. Hanya dengan cara demikianlah Tuhan Yesus dapat memuliakan Bapa dan menyelesaikan tugas penyelamatan atas dunia ini. Melepaskan hak artinya “rela” tidak menikmati apa yang menjadi bagian atau miliknya atau rela melepaskan apa yang menjadi miliknya demi kepentingan Kerajaan Allah. Hak-hak tersebut antara lain hak untuk dihormati, dikasihi, diperlakukan adil, menikmati milik sendiri dan lain sebagainya. Orang yang rela melepaskan hak adalah adalah orang yang dapat melayani Tuhan dengan benar. Sebenarnya setiap orang percaya sudah kehilangan hak setelah ditebus oleh Tuhan Yesus. Sebab penebusan oleh Tuhan Yesus satu aspek berarti dosa-dosa kita diampuni, pelanggaran kita dihapus, surga disediakan. Tetapi aspek lain dari penebusan oleh Tuhan Yesus berarti kita menjadi milik Tuhan. Sebagai anak tebusan kita harus melepaskan kedaulatan hidup. Oleh penebusan Tuhan Yesus, kita menjadi milik Tuhan sepenuhnya, dengan demikian kita bukan milik kita sendiri (1Kor. 6:19-20). Sama seperti seorang budak yang dibeli oleh seorang tuan, maka tuan ini yang berdaulat penuh atas budat tersebut. Seorang budak tidak berdaulat atas dirinya. Terkait dengan hal ini patut kita meneladani Maria dengan pengakuannya: “Sesungguhnya aku ini adalah pelayan Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Bila seseorang tidak melepaskan haknya, maka ia adalah seorang pemberontak. Tuhan Yesus berkata:  “Kalau begitu berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Luk. 20:25).  Hidup kita ini di atasnya ada gambar dan tulisan Allah yang harus dikembalikan kepada-Nya. Kata “berikanlah” dari kata apodote, yang artinya serahkanlah kembali. Tuhan yang menciptakan manusia, Tuhan juga yang berhak mengambil kembali apa yang dimiliki-Nya. Dalam Yohanes 1:11, Firman Tuhan berkata: Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya. Melepaskan hak artinya seseorang tidak lagi berkuasa mengatur dirinya. Hidup dalam pengaturan oleh Tuhan sepenuhnya, barulah membuat orang percaya dapat memuliakan Tuhan (Yoh. 21:18-19). Peragaan melepaskan hak ditunjukkan oleh Tuhan, yaitu ketika Ia mencuci kaki murid-murid-Nya (Yoh. 13). Maksud tindakan Tuhan mencuci kaki murid-murid-Nya tersebut adalah agar orang percaya melepaskan hak seperti Dia. Dengan demikian Tuhan dapat mengisi diri orang percaya dengan gairah-Nya (Ef. 1:23;4:13). Sehingga Tuhan Yesus dapat tampil di gelanggang dunia memuliakan Bapa melalui hidup orang percaya. Tuhan Yesus mengajar orang percaya untuk dapat menyatakan kehidupan yang dikalimatkan oleh Paulus: Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku (Gal. 2:20). Sebagai anak Allah yang mengerti kebenaran, kita akan menemukan kenyataan bahwa karunia yang Tuhan berikan kepada kita bukan saja keselamatan, tetapi juga karunia untuk menderita. Melepaskan hak adalah bentuk penderitaan. Hendaknya kita tidak hanya mengamini karunia yang pertama dan mengabaikan karunia yang kedua ini. Karunia untuk menderita inilah yang akan melengkapi karunia keselamatan yang sudah Tuhan berikan.

 Pelayanan Pribadi Kepada Tuhan | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Pelayanan tanpa batas juga harus dalam bentuk perjumpaan dengan Tuhan. Dalam perjumpaan tersebut anak-anak Allah bukan hanya menyampaikan suatu permohonan, tetapi memuji dan menyembah Tuhan secara pribadi. Hal ini harus dilakukan setiap orang Kristen tanpa kecuali. Jangan berpikir keliru, seolah-olah Tuhan hanya mau eksklusif dengan beberapa orang tertentu saja, khususnya hamba atau pelayan Tuhan. Dengan pikiran yang salah ini banyak orang Kristen merasa tidak memiliki tempat khusus di hadapan Tuhan, sehingga mereka juga tidak memberikan tempat dan waktu khusus bagi Tuhan. Sesungguhnya, setiap orang percaya adalah pelayan Tuhan yang memiliki tempat khusus di hadapan-Nya. Adapun apakah seseorang menjadi khusus atau tidak di hadapan Allah tergantung setiap individu memperlakukan Tuhan dalam hidupnya ini. Orang yang memperlakukan Tuhan secara istimewa sama dengan menjadikan dirinya istimewa di hadapan Tuhan. Bagaimana seseorang bisa menjadi khusus, istimewa dan eksklusif bagi Tuhan, kalau dirinya tidak menjadikan dan tidak memperlakukan Tuhan sebagai Pribadi yang khusus, istimewa dan eksklusif? Setiap hari, di tengah-tengah segala kesibukan dan tugas-tugas kehidupan untuk keluarga, pekerjaan dan lain sebagainya, seorang anak Allah harus membangun mezbah pribadi bagi Tuhan. Inilah perjumpaan penting yang tidak boleh dihindari atau ditiadakan. Ini lebih berharga dan lebih penting dari segala urusan lainnya. Mezbah pribadi bagi Tuhan adalah kegiatan yang mutlak harus diadakan setiap hari dan tidak boleh ditunda. Waktu yang tersedia harus memadai (minimal 30 menit). Dari waktu 30 menit, nanti berkembang menjadi lebih lama. Semakin mengalami keindahan dalam perjumpaan dengan Tuhan, maka semakin membutuhkan atau menuntut waktu lebih lama. Hal ini seperti proses seorang yang tercandu oleh narkoba. Perjumpaan dengan Tuhan itu bisa berupa sebuah meditasi di mana kita meneduhkan jiwa untuk merenungkan kebenaran-kebenaran Tuhan dalam Alkitab. Inilah saat di mana kita merenungkan eksistensi Tuhan dan kebesaran-Nya yang tiada tara. Pada perjumpaan dengan Tuhan tersebut, kita harus belajar memuji Tuhan dengan buah bibir yang memuliakan nama-Nya serta menyembah Dia (Ibr. 13:15). Hati kita harus ditundukkan untuk menyembah Tuhan. Inilah pelayanan pribadi bagi Tuhan yang tidak bersangkut paut dengan manusia lain. Ini urusan atau relasi Tuhan dengan pribadi kita masing-masing. Mengembangkan pelayanan pribadi seperti ini sangat penting, sebab dari pelayanan pribadi kepada Tuhan dalam bentuk menyembah Allah, kita terus dapat mengembangkan perasaan cinta yang tulus kepada Allah. Tetapi dalam hal ini harus dicatat, bahwa Allah kita bukanlah Allah yang hanya senang disanjung dan disembah dengan kata-kata di waktu-waktu tertentu. Allah kita adalah Allah yang menghendaki kehidupan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Tentu kehendak Allah adalah kehidupan yang sesuai dengan pola kesucian-Nya. Dalam hal ini kehidupan Tuhan Yesus sebagai model kehidupan yang dapat menyukakan hati Bapa di surga, karena telah sesuai dengan pola kesucian Tuhan. Dari usaha menyediakan diri membangun mezbah pribadi untuk Tuhan tersebut banyak pengalaman adi kodrati yang melampaui akal pikiran dapat diperoleh. Sebuah pengalaman batin yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata kepada orang lain. Dari mezbah pribadi ini terjalin hubungan yang sangat eksklusif dengan Tuhan. Inilah yang memicu kecintaan kita kepada Tuhan. Kecintaan kepada Tuhan merajut motivasi pelayanan yang murni bagi Tuhan yang kita tujukan bagi sesama. Dengan demikian pelayanan pribadi kepada Tuhan dalam mezbah pribadi membangun pelayanan yang murni dan benar bagi sesama kita. Oleh sebab itu mezbah pribadi harus merupakan kebutuhan yang sangat mutlak. Seorang pelayan jemaat yang memiliki perjumpaan pribadi dengan Tuhan dan melakukan pelayanan pribadi kepada-Nya dalam bentuk penyembahan yang benar dari hati ke hati, memiliki Tuhan yang nampak dari getar ketulusan doanya,

 Dimulai Dari Mengasihi Diri Sendiri | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dalam Matius 25:31-46 ditunjukkan oleh Tuhan Yesus bahwa segala perbuatan baik yang telah kita lakukan bagi orang yang membutuhkan pertolongan, yang membuat mereka mengenal Juruselamat dan dipersiapkan masuk Kerajaan Surga adalah perbuatan baik Tuhan sendiri. Itulah pelayanan yang sejati. Ini berarti, pelayanan yang benar dan nyata adalah perjalanan hidup kita setiap hari di tempat di mana kita menyelenggarakan hidup: di rumah, toko, pasar, kantor, pergaulan umum, sekolah, kampus dan lain sebagainya. Di tempat di mana setiap hari kita melakukan segala aktivitas kita, di sanalah pelayanan yang sesungguhnya. Gereja tidak terlalu membutuhkan orang Kristen yang hanya berkiprah di lingkungan tembok gereja, tetapi justru di tengah-tengah masyarakat. Pelayanan kepada Tuhan secara benar adalah pelayanan yang tidak dibatasi oleh cara. Ini berarti bukan hanya kegiatan yang berorientasi pada kegiatan gereja yang disebut sebagai kegiatan rohani. Pelayanan bukan hanya ada di sekitar gereja seperti berkhotbah, memimpin puji-pujian, sebagai staf pengurus gereja, guru sekolah Minggu dan lain sebagainya. Segala kegiatan yang dilakukan demi kepentingan atau keuntungan Tuhan sehingga memuaskan dan menyenangkan hati-Nya adalah pelayanan (1Kor. 10:31). Pelayanan yang dapat dilakukan siapa pun tanpa membedakan status (pria wanita, kaya atau miskin, dari berbagai suku bangsa dan berbagai golongan). Di sini pelayanan bukan monopoli pejabat yang disahkan sinode sebagai pejabatnya. Sebagai akibat salah konsep mengenai pelayanan, maka muncul “malaikat-malaikat” bahkan mesias-mesias modern. Tempat di mana Tuhan berada sering digantikan oleh orang-orang yang mengaku sebagai pelayan Tuhan yang telah diberi mandat Tuhan menjadi mediator antar umat dan Allah. Padahal mediator kita hanya satu, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Dalam pelayanan yang penting adalah siapakah yang menerima pelayanan kita. Tentu jawabnya mudah, yaitu Tuhan. Pertanyaannya adalah apakah semua yang kita lakukan benar-benar ditujukan bagi Tuhan? sebab banyak orang tidak jujur dengan dirinya sendiri. Mulut mengatakan melayani Tuhan, padahal sebenarnya ia melayani dirinya sendiri. Hal ini terjadi berhubung belum bisa menyalibkan dirinya sendiri atau belum menurunkan dirinya dari takhta kehidupannya. Tuhan Yesus belum bisa berkuasa atas hidup orang seperti itu. Ia belum bertumbuh sampai pada satu pengakuan: hidupku bukan aku lagi tetapi Kristus yang hidup di dalam aku. Pelayanan yang benar hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar telah menyadari, bahwa satu-satunya tujuan hidup ini adalah mengabdi kepada Tuhan seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus (Flp. 1:21). Oleh sebab itu pelayanan yang benar harus dimulai dari kerinduan yang sungguh-sungguh untuk melakukan segala sesuatu untuk kepentingan pekerjaan Tuhan, sehingga hati Tuhan dipuaskan dan disenangkan. Hal ini harus dipelajari dalam perjalanan hidup dari hari ke hari. Sampai suatu saat seseorang mengerti apa artinya hidup menghamba kepada Tuhan. Pelayanan harus dimulai dari diri sendiri, yaitu mengasihi diri sendiri seperti Tuhan mengasihi dirinya. Kemudian, berkembang menjadi mengasihi orang lain di sekitarnya seperti mengasihi diri sendiri. Orang di sekitarnya adalah siapa pun. Dari pasangan hidup, anak, orang tua, mertua, keluarga besar, pembantu rumah tangga dan sopir kita dan setiap orang yang kita jumpai. Sebab Tuhan mengasihi mereka dan Tuhan mau menyelamatkan dan memberkati mereka. Tidak sedikit terdapat orang-orang Kristen yang cakap dalam kegiatan pelayanan gereja, tetapi kehidupan setiap harinya tidak mendatangkan keteduhan bagi sesama. Mereka rajin datang ke gereja dan di depan mata masyarakat menunjukkan sebagai seorang pembela agama Kristen. Tetapi dalam kehidupan setiap hari, perbuatan mereka tidak memberkati orang lain. Orang-orang seperti ini pada dasarnya belum melayani Tuhan. Dalam kasus-kasus tertentu nampaklah karakter manusiawi mereka yang tidak berbelas kasihan terhadap sesama atau...

 Pelayanan Tanpa Batas | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Setelah melayani pekerjaan Tuhan puluhan tahun barulah kita menyadari benar apa yang dimaksud dengan pelayanan itu. Pada dasarnya yang dahulu kita pahami mengenai pelayanan, adalah apa yang kita lihat dari para pejabat gereja, aktivisnya dan pendidikan teologi yang dipelajari di Sekolah Tinggi Teologi. Pengertian kita dulu mengenai pelayanan adalah kegiatan di sekitar gereja yang dilakukan oleh mereka yang memiliki legitimasi (pengesahan) untuk pelayanan, yaitu para pejabat gereja dan yang lulus dari sekolah Alkitab. Konsep kita mengenai pekerjaan pelayanan antara lain khotbah, memimpin puji-pujian, mengorganisir serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan gereja. Itulah sebabnya kalau kita mengajak orang melayani Tuhan, berarti ikut serta dalam kegiatan gereja. Konsep pelayanan yang tidak tepat ini membatasi pelayanan secara utuh dan lengkap yang seharusnya dilakukan setiap orang percaya bagi Tuhan. Harus diingat bahwa menyembah Allah harus dalam Roh dan kebenaran, artinya ibadah yang tidak dibatasi oleh ruangan dan waktu serta sistem yang dibuat manusia (Yoh. 4:24). Konsep yang salah mengenai pelayanan menutup peluang banyak anak Allah untuk melayani pekerjaan-Nya, sehingga banyak orang-orang yang tidak pernah melayani Tuhan sepanjang umur hidupnya. Selama ini tanpa disadari telah bertahun-tahun terbangun “kerajaan manusia di dalam gereja” yang menjurus kepada “game” atau permainan manusia, bukan pekerjaan Tuhan. Bila kegiatan orang Kristen di dalam gereja sudah diakui sebagai telah mewakili pemerintahan Tuhan dalam hidup mereka, maka hal itu bisa disalahgunakan oleh orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Hal ini mengesankan bahwa tidak ada kegiatan di luar gereja yang merupakan kegiatan perwujudan pemerintahan Tuhan dalam kehidupan orang percaya. Dalam sejarah gereja telah tercatat kesalahan ini (Mat. 23:15). Para pejabat gereja mengambil keuntungan materi dan non materi dari konsep salah tersebut. Mereka menjadi sangat berkuasa mendominasi kehidupan umat dan memanipulasi kehidupan umat untuk kepentingan pribadi dan institusi dengan menggunakan nama Tuhan. Sebagai akibatnya terbentuk strata dalam gereja, strata pelayan Tuhan dan bukan pelayan Tuhan. Timbul konsep pekerjaan gereja dan pekerjaan dunia, imam dan awam. Hari ini kesalahan tersebut terulang. Dengan munculnya nabi-nabi palsu yang mengatasnamakan Tuhan mengajarkan ajaran-ajaran yang sebenarnya tidak Alkitabiah. Mereka  mempengaruhi umat untuk tenggelam dengan kegiatan gereja seolah-olah itulah yang disebut sebagai mencari dan melayani Tuhan, untuk menjadi umat yang berkenan kepada-Nya, guna meraih berkat jasmani dan surga. Padahal tidak demikian, kegiatan gereja baru sebagian dari usaha untuk mencari dan melayani Tuhan. Kerajaan manusia di dalam gereja harus diganti menjadi Kerajaan Tuhan, artinya bahwa pemerintahan Tuhan harus terselenggara dalam kehidupan orang percaya dalam seluruh kegiatannya, bukan hanya dalam lingkungan gereja. Pelayanan yang benar adalah pelayanan tanpa batas. Pelayanan tanpa batas artinya usaha yang dilakukan demi kepentingan atau keuntungan Tuhan sehingga memuaskan dan menyenangkan hati-Nya (Gal. 1:10). Ini adalah pelayanan yang tidak dibatasi oleh ruangan, berarti bukan hanya di lingkungan gereja dan lembaga-lembaga Kristen. Tempat pelayanan orang percaya adalah seluruh wilayah di mana mereka dapat menyelenggarakan hidup bagi kepentingan sesama. Dalam hal ini kita harus belajar apa yang dimaksud dengan ibadah. Ibadah, atau yang dalam lingkungan gereja juga sering disebut sebagai kebaktian, bukan hanya terselenggara di gereja, tetapi di manapun orang percaya berada harus beribadah atau berbakti kepada Tuhan. Dalam Roma 12:1 dikatakan bahwa ibadah yang sejati adalah mempersembahkan tubuh sebagai korban yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah. Ini berarti ketika seseorang menggunakan seluruh potensi dalam kehidupannya untuk kepentingan Tuhan, itu berarti sebuah ibadah.

 Hati Seorang Hamba | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dalam gerak hidup manusia kita menemukan banyak orang yang ingin menjadi besar menurut pandangannya sendiri. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menjadi besar di mata sesamanya, dari kegiatan studi formal, bisnis, karir dan lain sebagainya. Demi mencapai apa yang diinginkan tersebut, mereka bisa menghalalkan segala cara. Kalau di atas disinggung mengenai studi, karir dan lain sebagainya itu bukan berarti kegiatan tersebut adalah dosa. Yang menjadi renungan penting dan pertimbangan kita adalah: Mengapa kita tidak bergumul untuk menjadi besar di mata Allah? Menjadi besar di mata Allah adalah memiliki hati atau kehidupan seorang hamba. Inilah orang besar dan kaya di mata Allah. Dalam Lukas 17:7-10 kita menemukan penjelasan mengenai hati seorang hamba. Dari penjelasan tersebut kita menemukan ciri kehidupan seorang pelayan Tuhan.  Ciri seorang pelayan Tuhan yang benar, pertama: Bekerja sepenuh hati bagi Tuannya. Tuan di sini adalah Tuhan sendiri. Ini adalah sebuah kehidupan yang dihargai Allah, dan sungguh-sungguh berharga. Kehidupan semacam inilah yang sudah ditemukan oleh rasul Paulus (Flp. 1:21; 2Kor. 5:14-15; 1Kor. 6:19). Seorang yang hidup bagi Tuhan, bagai prajurit yang baik tidak memusingkan penghidupannya sendiri (2Tim. 2:4). Kehidupan sebagai milisi Kerajaan Surga semacam inilah yang jarang kita temukan dalam kehidupan orang percaya. Tetapi inilah pola hidup yang seharusnya kita miliki. Orang-orang seperti ini pasti tidak menghamba kepada mamon (Luk. 16:13). Seorang yang hendak melayani Tuhan tidak boleh memikirkan hari depannya dengan kacamata dunia (2Tim. 2:3-4). Kata “menderita” dalam teks aslinya adalah sunkakopateson, sebuah “pesakitan”, yaitu penderitaan yang kita pikul karena melayani Tuhan.  Tentu saja orang-orang seperti ini tidak menuntut upah sama sekali. Baginya, menderita bagi Tuhan adalah kehormatan yang luar biasa. Yesus berkata kepada seorang yang mau mengikut Tuhan: Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang tetapi anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Luk. 9:58). Dari pernyataan Tuhan Yesus tersebut, jelas sekali bahwa hendaknya kita mengiring Tuhan bukan karena jaminan hidup duniawi, tetapi karena mengasihi Dia. Hal ini yang ditawarkan Iblis kepada Yesus (Mat. 4). Ini sebuah pencobaan yang dari Iblis: asal Yesus mau menyembah kepada penghulu kegelapan tersebut, maka Yesus akan menerima segala kemuliaan dunia. Tetapi Tuhan Yesus menolak dan menjawab: Engkau harus menyembah Tuhan Allahmu dan hanya  kepada Dia sajalah kamu berbakti. Siapa menjadikan dirinya sahabat dunia, ia adalah musuh Allah (Yak. 4:4). Hendaknya kita tidak menjadi seperti Yudas, atau Demas yang mengasihi dunia sehingga mengkhianati Tuhan. Pelayan Tuhan tidak boleh menjadi hamba uang (1Tim. 3:3; Ibr. 3:5 ). Sikap ini harus dimulai hari ini, hendaknya kita tidak mencari tempat pelayanan karena uang. Pelayanan bukan perburuan terhadap uang, tetapi jiwa yang diubahkan menjadi seperti Yesus. Kedua, hidup dalam pengaturan Allah.  Kita harus menerima kenyataan bahwa di luar pengaturan Tuhan adalah kehidupan yang tidak tertib, rusak dan kebinasaan. Menjadi pelayan Tuhan adalah menjadi seorang yang tunduk kepada pengaturan Allah. Dalam pelayanannya, rasul Paulus hanya hidup seturut rencana dan kehendak Allah. Tiada hari tanpa kerja. Senantiasa hidup bagi Tuhan. Segala sesuatu yang kita lakukan harus diperuntukkan bagi Tuhan (1Kor. 10:31). Allah yang mengetahui talenta kita dan segala karunia khusus-Nya. Ia tahu di mana kita harus berada. Tidak ada pada tempat di mana kita harus berada merupakan suatu kerugian dan kelelahan hidup. Orang percaya yang berusaha menyenangkan hati Bapa adalah pribadi-pribadi yang mencari perkenanan Tuhan, bukan perkenanan manusia (Gal. 1:10). Mereka adalah orang-orang yang senantiasa bergumul untuk didapati Tuhan tidak bercacat tidak bercela.  Kita harus berprinsip berlandaskan pada Firman Tuhan. Tidak perlu peduli apa kata dunia terhadap kita.

 Ciri Khusus | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dewasa ini pengertian “pelayan Tuhan” telah rancu. Dan kalau pengertian pelayan Tuhan tidak jelas, maka pengertian pelayanan pekerjaan Tuhan pun menjadi kacau. Dan kalau pengertian pelayanan salah, maka misi pelayanan gereja telah gagal. Yang ada di dalam benak banyak orang tentang pelayan Tuhan adalah mereka yang memakai dasi berjas, dikerumuni orang untuk didengar, berdiri memimpin kegiatan gereja dan dihormati orang banyak sebagai orang yang berkualitas khusus. Tetapi Yesus menunjukkan siapa dan bagaimana hamba itu dalam beberapa perikop ini (Luk. 22:24-27; Yoh. 13:12-17). Pelayan Tuhan adalah mereka yang merendahkan diri untuk mendatangkan berkat bagi sesamanya.  Ini berarti seseorang harus menjadi hamba bagi sesamanya demi kemuliaan Tuhan (1Kor. 9:19; Yoh. 13). Hanya kalau seseorang dapat menjadi hamba bagi sesamanya, ia dapat memberkati orang lain dan pantas disebut pelayan Tuhan. Berkat bagi orang lain artinya membuat orang mengenal Allah, disempurnakan sehingga layak masuk rumah Bapa sebagai anggota keluarga-Nya. Ini berarti seorang pelayan Tuhan tidak harus berdiri di mimbar dan berkhotbah. Melalui segala sarana, sesungguhnya Allah hendak menjadikan semua orang percaya sebagai saluran berkat-Nya. Untuk memiliki pribadi yang dapat dipakai Allah, tidak mudah. Seseorang harus melalui proses pembentukan. Dalam Alkitab kita jumpai tokoh-tokoh yang diproses Tuhan sedemikian rupa dan kemudian hari mereka dipakai Tuhan secara luar biasa. Tokoh-tokoh itu antara lain: Musa, Yusuf, murid-murid Yesus dan tentu juga pelayan-pelayan Tuhan sekarang ini. Tidak ada jalan lain untuk dapat menjadi alat kepercayaan Tuhan selain menerima pembentukan-Nya terlebih dahulu. Dalam hal ini, gelar kesarjanaan Sekolah Tinggi Teologi atau ijazah sekolah Alkitab bukanlah modal utama dalam melayani pekerjaan Tuhan di lingkungan gereja. Dalam Matius 11:28-30 terdapat petunjuk adanya pembentukan itu. Tuhan berkata dalam teks ini: Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku. Kuk di sini adalah “zugon” (Yunani), ini adalah lambang pendidikan dan perbudakan. Hewan yang hendak didayagunakan harus dijinakkan dulu. Setelah jinak barulah didayagunakan. Demikianlah seorang pelayan Tuhan haruslah seorang yang mengalami pendidikan dari Tuhan atau pendewasaan, kemudian barulah Tuhan memercayainya sebagai alat-Nya. Jangan kita berpikir bahwa sekolah Alkitab dengan kurikulum yang tersaji sudah cukup dapat menjadikan seseorang sebagai pelayan Tuhan yang benar. Telah terbukti banyak murid sekolah Alkitab yang terbuang tidak berguna, sebaliknya banyak jemaat yang tidak pernah mengecap bangku sekolah Alkitab dipakai Tuhan menjadi hamba-Nya yang memberkati banyak orang. Yang terpenting adalah bagaimana seseorang memberi diri dibentuk oleh Allah. Dari bibir kita harus meluncur doa: “Bentuklah aku Tuhan”. Tetapi pada kenyataannya, tidak banyak orang Kristen yang sungguh-sungguh memberi diri dibentuk oleh Allah. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menerima pembentukan Allah, sebagai gantinya mereka sibuk dengan banyak hal. Padahal atas orang percaya Allah menyediakan menu-menu pendewasaan guna pembentukan kita. Untuk itu kita harus menyediakan diri untuk menerima pembentukan-Nya tersebut. Menu-menu tersebut antara lain: Firman Tuhan, pengajaran melalui hamba-pelayan Tuhan, waktu untuk digunakan sesuai dengan paket pelajaran yang Tuhan berikan (untuk berdoa dan membaca Alkitab), peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup ini yang melaluinya kita disempurnakan (Rm. 8:28). Dalam Alkitab kita menjumpai Yusuf, Musa dan banyak tokoh lain yang diproses Tuhan, setelah melalui semua itu barulah mereka dapat menjadi bejana Tuhan (Yer. 18:1-6). Kalau kita mau menjadi murid yang rajin, memanfaatkan waktu, memperhatikan setiap peristiwa yang terjadi dan kesediaan menyangkal diri, maka kita akan bertumbuh wajar, sehingga semakin seperti Yesus. Dengan cara inilah maka unsur-unsur “manusia lama atau kodrat dosa” dikikis oleh Tuhan dari dalam hidup kit...

 Melayani Dengan Kesukaan | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dalam nasihat Tuhan Yesus berkenaan dengan pelayanan tanpa menuntut upah, Ia berkata: “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk. 17:10). Dalam pernyataan Tuhan Yesus tidak tersirat sama sekali adanya upah sebagai motivasi seseorang melakukan suatu tugas atau kewajiban yang diberikan. Secara jelas Tuhan Yesus mengajarkan bahwa dalam segala sesuatu yang kita kerjakan bagi Dia, kita tidak boleh mengharapkan atau menantikan upah. Kita harus mempertimbangkan, bahwa kita telah berhutang nyawa atau berhutang keselamatan dari Tuhan Yesus. Hutang ini tidak dapat kita bayar dengan apa pun. Walaupun kita bisa mengambil bagian dalam pelayanan gerejani atau pelayanan dalam bentuk apa pun bagi pekerjaan Tuhan selama ribuan tahun, maka itu pun tidak cukup untuk dapat membalas kebaikan Tuhan, yaitu keselamatan yang telah diberikan kepada kita. Kalau kita bisa terhindar dari api kekal, sesungguhnya itu adalah berkat tidak ternilai yang Tuhan berikan; lebih dari segala berkat yang lain. Apakah kalau Paulus berkata bahwa ia boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa ia tidak mempergunakan haknya sebagai pemberita Injil, juga  Tuhan Yesus juga mengajar kita untuk melayani tanpa mengharapkan upah, apakah berarti seorang pelayan Tuhan fulltimer tidak berhak mendapat upah? Tentu upah yang dimaksud dalam 1 Korintus 8:19 tersebut adalah upah di dunia ini, yaitu jaminan hidup sebagai seorang pelayan Tuhan. Seorang pelayan Tuhan yang mengerti kebenaran tidak mengharapkan upah apa pun di bumi ini. Diperkenan melayani pekerjaan Tuhan itu sendiri sudah merupakan kehormatan yang luar biasa. Selain kita memang diciptakan untuk melayani Tuhan, kita juga diperkenan menjadi sekutu Tuhan. Menjadi sekutu artinya bisa sepenanggungan dengan Tuhan. Dengan melayani Tuhan kita diperkenan menjadi sahabat-Nya (Yoh. 15:14-15). Siapakah kita diperkenan menjadi sahabat Tuhan? Menjadi sahabat Tuhan berarti mendapat tempat bersama-sama dengan Tuhan dalam Kerajaan-Nya (Yoh. 14:1-3). Inilah yang menjadi kerinduan Paulus sehingga ia menyatakan: … tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku  dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus (Flp. 3:12-14). Bukan karena upah itu kita melayani Tuhan, tetapi setiap pelayanan dan kesetiaan pasti mendatangkan upah. Dan upah orang percaya tersedia dalam kerajaan-Nya. Melayani Tuhan memiliki dampak yang tidak terukur. Pengorbanan dalam pelayanan bagi Tuhan di dunia ini dapat  diukur, tetapi buah dari pelayanan bagi Tuhan tidak terukur. Itulah sebabnya dikatakan dalam Firman Tuhan: bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita, orang percaya (Rm. 8:18). Hanya orang-orang bodoh yang tidak berakal yang tidak memanfaatkan kesempatan ini. Orang-orang bijaksana memberi hidupnya untuk melayani Tuhan dengan apa pun yang dapat dilakukan bagi Tuhan. Doanya adalah: “Tuhan ambil hidupku untuk melayani Engkau. Bukan emas dan perak yang kuminta tetapi beri aku kesempatan untuk mengabdi kepada-Mu” Pengorbanan yang ditunjukkan oleh orang percaya kepada Tuhan Yesus dengan motif yang benar, tidak pernah dilupakan oleh Tuhan. Pengorbanan mereka terhadap Tuhan bisa dianggap gratis, sebab memang Tuhan telah membeli setiap orang percaya dengan darah-Nya dan setiap orang percaya memang harus mengabdi bagi Tuhan. Tetapi Tuhan tetap memperhitungkan dengan teliti dan memberi upah di dalam Kerajaan-Nya (Luk. 22: 28-30; Why. 14:13). Kita dipanggil Tuhan untuk menerima berkat abadi ini dengan melayani Tuhan. Dengan demikian seharusnya dalam pelayanan pekerjaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita, kita menerimanya sebagai suatu kehormatan. Jika demikian,

 Meledakkan Kasih | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Pengalaman meledakkan kasih kepada suatu obyek tentu sudah dialami hampir setiap insan. Kasih orang tua terhadap anak, kasih anak terhadap orang tua,  kasih seorang pria kepada wanita atau sebaliknya, kasih seorang sahabat, cinta kasih kepada negara atau tanah air dan lain sebagainya. Ledakan atau ekspresi cinta kasih manusia dalam konteks tersebut dapat ditemukan dalam sejarah kehidupan manusia dan kita alami secara konkrit. Kita semua adalah pelaku-pelakunya. Tahun-tahun yang panjang telah kita lalui dalam ledakan-ledakan cinta kasih kepada banyak obyek. Kita pernah memiliki ledakan kasih kepada banyak obyek, tetapi apakah kita pernah mengalami ledakan kasih terhadap Tuhan? Seorang yang mengekspresikan cinta kasih kepada obyek tertentu tidak akan mengharapkan dan menuntut upah. Baginya, dapat mengekspresikan cinta kasih itu sendiri sudah merupakan kebahagiaan dan kepuasan. Orang yang membutuhkan penyaluran cinta kasih kepada suatu obyek seolah-olah mau berkata: “Ijinkan aku mengasihimu. Itu cukup bagiku”. Mengapa demikian? Sebab jika seseorang boleh mengekspresikan atau menyalurkan cinta kasih, itu sudah merupakan pemberian atau anugerah. Ketika seseorang hanyut dalam mengekspresikan atau menyalurkan perasaan kasihnya kepada Tuhan, ia tidak pernah berpikir upah yang ia akan peroleh. Rasul Paulus merupakan model seorang pelayan Tuhan yang menunjukkan ledakan cinta kasihnya yang begitu hebat kepada Tuhan. Dalam pelayanannya, ia bukan saja tidak menuntut upah, tetapi juga siap menghadapi segala keadaan demi kemajuan Injil. Dalam kesaksiannya ia berkata: aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ, selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah (Kis 20:21-24). Dalam perjalanan pelayanan Tuhan Yesus, kita temukan ledakan cinta kasih Tuhan Yesus kepada Bapa-Nya. Tindakan Tuhan Yesus di Bait Suci menunjukkan hal ini. Ketika Tuhan Yesus melihat  halaman Bait Suci digunakan untuk jual beli, Ia menjadi marah dan melakukan suatu tindakan yang sangat radikal. Tindakan itu diungkapkan dengan kalimat: “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku” (Yoh. 2:17). Ia menjungkirbalikkan meja tempat para penukar uang melakukan transaksi dan mengusir para pedagang hewan korban dengan cemeti. Ini pasti membuat halaman bait Suci menjadi heboh. Tindakan ini suatu keberanian yang luar biasa. Ledakan cinta kasih bisa membuat seseorang nekat. Sejarah kehidupan manusia membuktikan hal ini. Ledakan cinta kasih Tuhan Yesus dalam fragmen penyucian Bait Suci, dan kesediaan-Nya mati di kayu salib adalah ledakan cinta kasih yang paling mulia di sepanjang sejarah alam semesta. Ledakan cinta kasih seperti ini diharapkan dapat dimiliki pengikut-pengikut Tuhan Yesus. Memang, mengikuti Tuhan Yesus berarti mengikuti jejak-Nya. Jejak Tuhan Yesus termasuk ledakan cinta kasih-Nya kepada Bapa di surga.  Ledakan cinta kasih itu juga ditunjukkan dengan sikap Tuhan Yesus tetap bertahan menantikan perempuan Samaria di perigi Yakub dekat Kota Sikhar, ketimbang masuk kota mencari makanan, walaupun Tuhan Yesus sudah letih dan lapar. Tuhan Yesus berkata: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4:34). Dalam seluruh perjalanan pelayanan Tuhan Yesus nampak kecintaan-Nya kepada Bapa, yang ditandai dengan ketaatan-Nya sampai mati bahkan mati di kayu salib (Flp. 2:5-9). Inilah ketaatan tak bersyarat, ketaatan yang dipersembahkan tanpa menuntut upah.

 Ekspresi Kasih | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Kasih adalah hukum pelayanan. Hukum pelayanan ini juga sebenarnya hukum kehidupan yang harus dan pasti dapat dikenakan dalam kehidupan semua orang percaya. Bukan monopoli Paulus dan orang-orang tertentu yang memiliki karunia khusus. Untuk bisa mengenakan hukum ini seseorang tidak harus memiliki karunia ekstra. Dengan penjelasan ini diharapkan kita tidak memandang hal itu sebagai sesuatu yang mustahil untuk bisa dikenakan. Di tengah-tengah dunia yang hanyut oleh semangat komersial, di mana segala tindakan hampir selalu dinilai sebagai jasa dan menuntut upah, anak-anak Allah harus tetap dalam integritas tinggi mengenakan kebenaran yang diajarkan Tuhan melalui Paulus ini. Kasih disebut sebagai hukum kehidupan, karena standar inilah yang seharusnya menjadi standar ideal. Hukum pelayanan dan kehidupan ini adalah standar normal setiap anak Allah. Menjadi kebahagiaan yang luar biasa kalau seseorang dapat mengenakannya. Sangat disayangkan, dewasa ini banyak orang Kristen tidak pernah mengenal kebenaran yang murni, sebab semangat komersial telah menembus dan mewarnai kehidupan pelayan Tuhan di gereja, sehingga merusak seluruh kehidupan jemaat. Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah (1Kor. 9:18). Kalimat ini memuat hukum kehidupan dan hukum pelayanan yang pada dasarnya hendak mengemukakan bahwa menjadi seorang anak Allah yang benar haruslah berani menjadikan kewajiban sebagai hak atau menganggap kewajiban sebagai hak atau mengubah sikap terhadap kewajiban menjadi sikap terhadap hak. Dalam hal ini memberitakan Injil yang adalah kewajiban, bagi Paulus menjadi hak atau disikapi sebagai hak (1Kor. 9:18). Paulus tidak mengubah kewajiban yang harus dia penuhi, tetapi sikap terhadap kewajiban tersebut yang ia ubah. Kalau pada umumnya orang bersikap terhadap kewajiban adalah beban, suatu tugas yang harus dikerjakan, bahkan menyikapinya dengan hati yang berat, tetapi Paulus menjadikan kewajiban sebagai kesukaan. Kalau sudah demikian, upah tidak menjadi motif atau dorongan dalam melakukan suatu kewajiban. Memang bisa saja anak-anak Allah menuntut haknya sebagai anak kepada Allah yang adalah Bapa. Ini sama seperti seorang anak menuntut orang tua untuk memenuhi kewajibannya terhadap anak, sebab kewajiban orang tua tersebut merupakan hak anak, tetapi bukan berarti anak menuntut sesuka hatinya sendiri. Kewajiban orang tua adalah memberi makan, pendidikan dan segala kebutuhan anak (hak anak-anak), banyak anak merasa berhak menuntutnya. Sebenarnya tanpa perlu dituntut, orang tua yang baik akan memenuhi kewajibannya. Dan biasanya masalahnya terletak kepada anak-anaknya. Kewajiban anak adalah belajar di sekolah, kuliah dan membantu orang tua.  Paulus seperti seorang anak yang melakukan kewajiban tanpa menuntut haknya. Dari pernyataan Paulus tersebut nampak dengan jelas bahwa melakukan tugas atau kewajiban adalah kebutuhan yang menyenangkan, bukan suatu beban yang menyakitkan. Ia percaya bahwa Bapa di surga bisa dipercayai dalam memenuhi bagian-Nya, pengakuannya: Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan (2Tim. 1:12). Memberitakan Injil adalah kewajiban yang harus dipenuhi, kalau kewajiban dipenuhi maka pelaku berhak menerima upah. Dalam kasus ini Paulus mau, bersedia  dengan rela, mengerjakan kewajiban atau tugas memberitakan Injil tetapi ia tidak mempersoalkan atau menuntut upah. Paulus tidak mempersoalkan hak upah yang bisa dia peroleh, walaupun ia berhak mempergunakannya. Bagi Paulus memberitakan Injil lebih berarti dari upah apa pun yang ia dapat peroleh dari jemaat Tuhan yang ia layani. Ia menganggap bahwa  memberitakan Injil tanpa upah adalah hak istimewa. Melayani Tuhan adalah ekspresi kasih kita kepada Tuhan. Perasaan cinta kasih kepada seseorang atau sesuatu membutuhkan ekspresi atau sarana untuk menyalurkannya.

 Nafas Pelayanan Yang Benar | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dari apa yang dipaparkan Tuhan dalam Lukas 22:24-30, kita dapat menemukan pengertian pelayanan, khususnya dalam ayat 26-27. Dalam ayat tersebut Tuhan Yesus menunjuk seorang penyaji makanan sebagai gambaran seorang pelayan Tuhan.  Seorang penyaji makanan adalah seorang yang berlelah untuk kenyamanan orang lain. Dalam penjelasannya tersebut Tuhan Yesus membandingkan antara konsep pelayanan Kristiani dengan pemerintahan di dunia. Pada umumnya pemerintah-pemerintah di dunia dengan dalih dan alasan melindungi, melayani dan memperhatikan kepentingan masyarakat, maka mereka memerintah dan melakukan segala kegiatan. Tetapi sebenarnya mereka mau dihormati, bahkan sangat mungkin “gila hormat”, tidak jarang apa yang mereka lakukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan pribadi. Karenanya tidak heran kalau ada pandangan bahwa politik itu jahat. Bentuk lain dari buah “pelayanan” yang sebenarnya bukan pelayanan tersebut adalah adanya pembunuhan, perebutan kekuasaan, pengkhianatan, perang, konflik senjata antar sesama bangsa dan berbagai kekerasan yang bertendensi pada perebutan kekuasaan. Gereja yang tidak mengerti makna pelayanan yang benar, juga terjerembab jatuh ke dalam kesalahan tersebut. Orang percaya harus sungguh-sungguh memperhatikan, mau mengerti dan menerima bahwa Tuhan Yesus melepas jubah kebesaran-Nya dan mencuci kaki murid-murid-Nya (Yoh. 13). Inilah kebesaran sebuah pelayanan yang mulia. Dalam suratnya Paulus berkata “dirinya adalah hamba” (1Kor. 9:19; 2Tim. 2:3-4). Ini berarti bahwa pelayanan adalah segala sesuatu yang kita lakukan yang membuat orang lain diberkati (yaitu mengenal Allah yang benar dan didewasakan). Inilah yang sering dimaksud dengan memperkaya orang lain. Untuk ini seseorang harus berhenti dari melihat kepentingan diri sendiri, beralih melihat kepentingan orang lain. Mematikan egoisme, naluriah yang hanya melihat kebutuhan diri sendiri. Inilah kehidupan yang disalibkan.  Telah mati bagi dirinya sendiri dan hidup bagi Allah. Hal berikutnya, pelayanan berarti penyerahan terhadap tugas tanpa menuntut imbalan. Seorang hamba yang benar tidak menuntut upah (1Kor. 9:18). Seorang yang menyadari hal ini tidak akan merasa bahwa jerih payahnya dalam pelayanan harus mendapat imbalan. Salah mengerti makna pelayanan ini membuat seseorang merasa memiliki jasa yang layak diimbali. Mereka belum melayani Tuhan, tetapi melayani diri sendiri. Melayani cita-cita, ego dan nafsunya. Tuhan menjadi miskin supaya umat kaya. Paulus juga memiliki kesaksian hidup seperti ini (2Kor. 6:3-10). Pengertian pelayanan tersebut harus kita miliki mulai sekarang, dikembangkan sehingga kita dapat menjadi seorang hamba. Pelayan Tuhan, bukan pelayan diri sendiri. Dalam 1 Korintus 9:18, Paulus menulis suatu kesaksian hidup: Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil. Dalam pernyataannya ini ada suatu hukum pelayanan yang sangat luar biasa yang membuat pelayanan kepada Tuhan bermutu sangat tinggi. Paulus hendak mengajarkan kepada semua jemaat suatu hukum pelayanan yang telah dikenakan dalam hidupnya tersebut: Pelayanan bukan usaha untuk mencari atau mendapatkan upah. Upah tidak boleh menjadi dorongan pelayanan. Tentu upah yang dimaksud Paulus di sini adalah haknya sebagai pemberita Injil. Haknya sebagai pemberita Injil adalah kehidupan nafkah yang dapat diperoleh dari jemaat, seperti yang dikemukakan dalam tulisannya: “Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik” dan lagi “seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (1Tim. 5:18). Memang seorang pekerja Injil patut hidup dari pelayanannya, tetapi bukan berarti hal itu menjadi suatu hukum yang mutlak harus dipenuhi, di mana pelayan Tuhan berhak menuntut upah. Paulus sendiri berusaha untuk tidak menjadi beban dan batu sandungan bagi jemaat. Ia berusaha dengan tangannya sendiri mencari nafkah guna kehidupan sehari-hari dan biaya pelayanannya bahkan ...

 Pola Jemaat Membangun Diri | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Umat Perjanjian Baru adalah umat yang akan mewarisi Kerajaan Surga, yang pikirannya harus tertuju kepada perkara-perkara yang “di atas” bukan yang di bumi. Panggilan umat Tuhan hanya satu, yaitu mengumpulkan harta di surga bukan di bumi. Pemenuhan kebutuhan jasmani harus diajarkan sebagai hal yang tidak rumit. Solusinya harus ditemukan sendiri dalam kehidupan dengan kerja keras dan sikap bertanggung jawab (Tuhan pasti berkati), bukan dengan doa dan mukjizat Tuhan. Doa adalah dialog, bukan sekadar permintaan. Doa dan pelayanan pelayan Tuhan tidak ada artinya kalau jemaat tidak bertobat, kerja keras dan bertanggung jawab hidup. Apa yang ditabur masing-masing pribadi akan dituainya. Di sini yang sangat penting adalah jemaat diajar bagaimana menabur dengan baik. Bukan menabur uang, tetapi menabur dalam roh, yaitu perbuatan sesuai dengan Roh Kudus (Gal. 6:8). Prinsip tabur tuai ini tidak boleh diisi dengan isi yang berbeda dengan konteks Alkitab, atau apa yang dimaksud oleh Alkitab. Pengajaran yang mengajarkan bahwa jemaat kalau memberi mendapat imbalan, bahkan berkali lipat, merupakan ajaran yang tidak membangun sikap hati yang benar di hadapan Tuhan. Gereja tidak boleh merangsang jemaat untuk memperoleh sebanyak-banyaknya dari apa yang disediakan dunia ini dan memberi kesan bahwa ingin kaya itu diperbolehkan. Kenyataan ini tidak dapat dibantah dengan bukti nyata seperti yang kita saksikan di banyak gereja. Mereka mengajarkan doa Yabes agar Tuhan meluaskan tanah dan memberkati umat dengan berkat yang berlimpah. Doa Yabes akan sangat efektif pada zamannya, yaitu jaman Perjanjian lama di mana pola pikir bangsa Israel atau umat Perjanjian Lama terfokus pada pemenuhan kebutuhan jasmani. Yang dipahami oleh mereka adalah mengenai berkat adalah tanah di dunia yang berlimpah susu dan madu. Tetapi anak-anak Allah dipanggil untuk mewarisi langit baru dan bumi yang baru. Oleh sebab itu doa yang diajarkan adalah Doa Bapa Kami: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya (Mat. 6:11). Di sini kita menemukan prinsip bahwa “makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan”. Jemaat harus puas berkenaan dengan kebutuhan jasmani, tetapi selalu haus dan lapar akan kebenaran. Tanpa merasa puas dan cukup dengan apa yang ada, maka jemaat tidak akan mencari Tuhan dengan benar. Ingat! Ibadah harus disertai rasa cukup (1Tim. 6:6). Mengikut Tuhan Yesus harus berani seperti Tuhan Yesus, yaitu tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Luk. 9:58). Ini bukan berarti membuat orang percaya menjadi miskin. Justru ketika seseorang tidak melekatkan hatinya kepada kekayaan dunia ini, maka Tuhan dapat memercayakan hal-hal yang besar dari Dia untuk kemuliaan-Nya. Orang percaya yang memiliki sikap hati yang benar pasti rajin bekerja, jujur, dan produktif, sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain atau tidak menjadi benalu bagi sesamanya, tetapi menjadi berkat bagi banyak orang. Dengan kehausan dan kelaparan akan kebenaran, jemaat terpacu atau terdorong untuk bertumbuh dalam mengenal kebenaran dan mengenakan kebenaran sebagai bagian dari proses “kloning”. Proses kloning di sini adalah pelatihan yang Tuhan lakukan agar anak-anak-Nya bisa berkata: hidupku bukan aku lagi tetapi Kristus yang hidup di dalam aku (Gal. 2:19-20). Inilah sebenarnya tujuan inti pelayanan, setiap individu dikuasai oleh Kristus, sehingga kehidupan Kristus nyata dalam hidup mereka. Dengan demikian gereja memproduksi manusia-manusia seperti Kristus. Dalam hal ini keberhasilan gereja adalah melahirkan orang-orang yang berkarakter Kristus. Gereja menjadi “Sekolah Alkitab” yang mendidik jemaat menjadi pelayan-pelayan Tuhan, hasil dari pendewasaan dan peragaan pribadi Kristus. Seluruh kegiatan gereja harus memiliki jiwa ini, inilah esensi pelayanan. Untuk menyelenggarakan hal ini hamba atau pelayan Tuhan harus masuk proses kloning terlebih dahulu, dengan demikian  seorang pelayan Tuhan bisa berdampak atau mengimpartasi “jiwa atau semangat hamba Kristus” kepa...

Comments

Login or signup comment.